Seorangperawi hadits disebut sebagai tidak dhabith, apabila dia diindikasikan bersifat salah satu dari keadaan berikut: 1. Sering salah yang parah (fahsyul ghalath) 2. Lemah hafalan (su'ul hifzh) 3. Pelupa (ghuflah) 4. Banyak salah sambung (katsratul awham) 5. Bertentangan dengan yang lebih tsiqah (mukhalafatuts tsiqat) ***
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. syarat syarat seorang perawi dan proses transformasi Mayoritas ulama hadist, ushul dan fiqih berpendapat dan sepakat bahwa seorang guru yang menyampaikan sebuah hadist harus mempunyai ingatan dan hafalan Olabit, serta memiliki integritas keagamaan yang keudian melahirkan tingkat kredibilitas sifat adil dalam hubungannya dengan periwayatan hadist maka yang dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seorang yang selalu mendorongnya melakukan hal-hal yang positif atau orang yang selalu konsisiten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap sebagian sarjana Muslim atas peran hadis sebagai sumber otoritas kedua setelah al-Qur’an, tidak sepenuhnya berkaitan dengan resistensi mereka atas otoritas sunnah, tetapi lebih pada keraguan mereka atas keakuratan metodologi yang digunakan dalam menentukan originalitas hadis. Apabila metodologi otentifikasi yang digunakan bermasalah, maka semua hasil yang dicapai dari metode tersebut tidak steril dari kemungkinan kemungkinan verifikasi ulang, kritik sejarah bahkan hasil tersebut bisa menjadi hadis sebagai sumber otoritas Islam. Hadis yang dianggap sebagai verbalisasi sunnah oleh umat Islam terlalu penting untuk diabaikan dalam kehidupan beragama, sosial dan politik. Hadis bukan hanya sebagai sumber hukum Islam yang berdiri sendiri, tapi juga sebagai sumber informasi yang sangat berharga untuk memehami wahyu Allah. Ia juga sebagai sumber sejarah masa awal Islam. Singkatnya, ada hadis hukum, hadis tafsir dan hadis sebagai sumber sejarah dan moral. Dalam anatomi hukum Islam, hadis merupakan salah satu kalau bukan yang terpenting sumber untuk disini kami akan mencoba untuk membahas mengenai syarat seorang perawi dan cara mereka menerima dan menyampaikan riwayat. Pengertian RawiMenurut ilmu hadits Rawi adalah “orang yang meriwayatkan hadits”. Salah satu cabang dari penelitian hadits adalah penelitian terhadap rawi hadits. Baik menyangkut sisi positif maupun sisi negetif perawi. Ilmu ini dikenal dengan istilah ilmu Jarh dan Ta’dil. Ilmu ini membahas tentang kondisi perawi. Apakah dapat dipercaya, handal, jujur, adil, dan tergas atau dan Ta’dil sebenarnya berasal dari ilmu rijalul hadits. Mustafa Al Saba’i memasukkan ilmu ini sebagai salah satu ilmu yang paling berharga dalam “Ulum Al Hadits”. Melalui ilmu ini kajian dan penelanjangan terhadap rawi hadits akan terjadi kredibilitas perawi hadits akan terukur dengan jelas. Mengingat ilmu ini sangat penting. Siapapun yang menggeluti hadits ia harus mempelajarinya. Karena ilmu ini menjadi penentu hadits, apakah termasuk shohih atau tidak. Layak dijadikan sumber hukum atau rawi yang adil harus memiliki karakteristik moral baik, muslim, telah baligh, berakal sehat, terbebas dari kefasikan dan hal – hal yang menyebabkan harga dirinya jatuh dai ia meriwayatkan hadits dalam keadaan yang terdapat dalam diri seorang rawi, mendorongnya agar selalu melakukan hal – hal postif atau rawi selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen yang tinggi terhadap agamanya. Maka dari itu rawi di tuntut mengetahui atau menguasai isi kitabnya. Jika meriwayatkan haditsnya dari kitab dan juga ia harus mengetahui hal – hal yang dapat menggangu makna hadits yang diriwayatkan. syarat-syarat seorang perawi dan proses transformasiBenar – benar memiliki pengetahuan bahasa arab yang mendalam. Diantaranya, perawi harus seorang ahli ilmu Nahwu, sharaf dan ilmu bahasa, mengerti konotasi lapadz dan maksudnya, memahami perbedaan – perbedaan dan mampu menyampaikan hadits dengan dalam kondisi terpaksa. Lupa susunan harfiahnya, sedangkan kandungan hadits tersebut sangat diperlukan. Hal ini dianggap baik dari pada tidak meriwayatkan suatu hadits, atau enggan meriwayatkan hadits dengan alasan lupa lapadznya sementara nilai pokok hukum yang terkadung dalam hadits tersebut sangat diperlukan ummat harus menyertakan kalimat – kalimat yang menunjukkan bahwa hadits tersebut diriwayatkan dengan periwayatan makna seperti terungkap pada kalimat – kalimat “Ad kama kola”.Menurut periwayatan hadits dengan cara bi al makna Makna di perbolehkan apabila lapdz – lapadz hadits tersebut lupa. Periwayatan itu tidak merusak maksud, sehingga terpelihara dari kesalahan periwayata. Tetapi cara ini hanya akan berlaku pada zaman sahabat yang langsung mereportase prilaku periwayatan hadits dengan makna terbatas, pada masa sebelum di bukukan hadits nabi secara resmi. Sesudah masa pembukuan tadwin hadits. Harus dengan lapadz. Kedudukan boleh tidaknya meriwayatkan hadits denan makna, sejak sahabatpun sudah controversial, namun pada umumnya sahabat memperbolehkannya. Tetapi, sebenarnya mereka yang berpegang teguh pada periwayatan dengan lapadz tidak melarang secara tegas sahabat lain dalam meriwayatkan hadits dengan hadits yang diterima 1. Sanadnya harus muttasil bersambung, artinya tiap-tiap perawi betul-betul mendengar dari gurunya. Guru benar-benar mendengar dari gurunya, dan gurunya benar-benar mendengar dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. 2. Perawi harus adil. Artinya, perawi tersebut tidak menjalankan kefasikan, dosa-dosa, perbuatan dan perkataan yang hina. Perawi yang adil adalah perawi yang muslim, baligh dapat memahami perkataan dan menjawab pertanyaan, berakal, terhindar dari sebab-sebab kefasikan dan rusaknya kehormatan contoh-contoh kefasikan dan rusaknya kehormatan adalah seperti melakukan kemaksiatan dan bid’ah, termasuk diantaranya merokok, mencukur jenggot, dan bermain musik.3. Betul-betul hafal. 4. Tidak bertentangan dengan perawi yang lebih baik dan lebih dapat dipercaya. 5. Tidak berillat, yakni tidak memiliki sifat yang membuat haditsnya tidak diterima. B. Cara menerima dan menyampaikan riwayat Yang dimaksud dengan “jalan menerima hadits” thuruq at-tahammul adalah cara-cara menerima hadits dan mengambilnya dari Syaikh. Dan yang dimaksud dengan “bentuk penyampaian” sighatul-ada’ adalah lafadh-lafadh yang digunakan oleh ahli hadits dalam meriwayatkan hadits dan menyampaikannya kepada muridnya, misalnya dengan kata sami’tu سَمِعْتُ “Aku telah mendengar”; haddatsani حَدَّثَنِي “telah bercerita kepadaku”; dan yang semisal dengannya. Dalam menerima hadits tidak disyaratkan seorang harus muslim dan baligh. Inilah pendapat yang benar. Namun ketika menyampaikannya, disyaratkan harus Islam dan baligh. Maka diterima riwayat seorang muslim yang baligh dari hadits yang diterimanya sebelum masuk Islam atau sebelum baligh, dengan syarat tamyiz atau dapat membedakan yang haq dan yang bathil sebelum baligh. Sebagian ulama memberikan batasan minimal berumur lima tahun. Namun yang benar adalah cukup batasan tamyiz atau dapat membedakan. Jika ia dapat memahami pembicaraan dan memberikan jawaban dan pendengaran yang benar, itulah tamyiz dan mumayyiz. Jika tidak, maka haditsnya ditolak. Jalan untuk menerima dan menyampaikan hadits ada delapan, yaitu as-sama’ atau mendengar lafadh syaikh; al-qira’ah atau membaca kepada syaikh; al-ijazah, al-munawalah, al-kitabah, al-I’lam, al-washiyyah, dan al-wijadah. Berikut ini masing-masing penjelasannya berikut lafadh-lafadh penyampaian masing-masing • As-Sama’ atau mendengar lafadh syaikh guru. Gambarannya Seorang guru membaca dan murid mendengarkan; baik guru membaca dari hafalannya atau tulisannya, dan baik murid mendengar dan menulis apa yang didengarnya, atau mendengar saja, dan tidak menulis. Menurut jumhur ulama, as-sama’ ini merupakan bagian yang paling tinggi dalam pengambilan hadits. Lafadh-lafadh penyampaian hadits dengan cara ini adalah aku telah mendengar dan telah menceritakan kepadaku. Jika perawinya banyak kami telah mendengar dan telah menceritakan kepada kami. Ini menunjukkan bahwasannya dia mendengar dari sang syaikh bersama yang lain. Adapun lafadh telah berkata kepadaku atau telah menyebutkan kepadaku, lebih tepat untuk mendengarkan dalam mudzakarah pelajaran, bukan untuk mendengarkan hadits. • Al-Qira’ah atau membaca kepada syaikh. Para ahli hadits menyebutnya Al-Ardl Bentuknya Seorang perawi membaca hadits kepada seorang syaikh, dan syaikh mendengarkan bacaannya untuk meneliti, baik perawi yang membaca atau orang lain yang membaca sedang syaikh mendengarkan, dan baik bacaan dari hafalan atau dari buku, atau baik syaikh mengikuti pembaca dari hafalannya atau memegang kitabnya sendiri atau memegang kitab orang lain yang tsiqah. Mereka para ulama berselisih pendapat tentang membaca kepada syaikh; apakah dia setingkat dengan as-sama’, atau lebih rendah darinya? Yang benar adalah lebih rendah dari as-sama’. Ketika menyampaikan hadits atau riwayat yang dibaca si perawi menggunakan lafadh-lafadh aku telah membaca kepada fulan atau telah dibacakan kepadanya dan aku mendengar orang membaca dan ia menyetujuinya. Lafadh as-sama’ berikutnya adalah yang terikat dengan lafadh qira’ah seperti haddatsana qira’atan alaih ia menyampaikan kepada kami melalui bacaan orang kepadanya. Namun yang umum menurut ahli hadits adalah dengan menggunakan lafadh akhbarana saja tanpa tambahan yang lain. • Al-Ijazah Yaitu Seorang Syaikh mengijinkan muridnya meriwayatkan hadits atau riwayat, baik dengan ucapan atau tulisan. Gambarannya Seorang syaikh mengatakan kepada salah seorang muridnya Aku ijinkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku demikian. Di antara macam-macam ijazah adalah • Syaikh mengijazahkan sesuatu yang tertentu kepada seorang yang tertentu. Misalnya dia berkata,“Aku ijazahkan kepadamu Shahih Bukhari”. Di antara jenis-jenis ijazah, inilah yang paling tinggi derajatnya. • Syaikh mengijazahkan orang yang tertentu dengan tanpa menentukan apa yang diijazahkannya. Seperti mengatakan,“Aku ijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan semua riwayatku”. • Syaikh mengijazahkan kepada siapa saja tanpa menentukan dengan juga tidak menentukan apa yang diijazahkan, seperti mengatakan,“Aku ijazahkan semua riwayatku kepada semua orang pada jamanku”. • Syaikh mengijazahkan kepada orang yang tidak diketahui atau majhul. Seperti dia mengatakan,“Aku ijazahkan kepada Muhammad bin Khalid Ad-Dimasyqi”; sedangkan di situ terdapat sejumlah orang yang mempunyai nama seperti itu. • Syaikh memberikan ijazah kepada orang yang tidak hadir demi mengikutkan mereka yang hadir dalam majelis. Umpamanya dia berkata,“Aku ijazahkan riwayat ini kepada si fulan dan keturunannya”. Bentuk pertama a dari beberapa bentuk di atas adalah diperbolehkan menurut jumhur ulama, dan ditetapkan sebagai sesuatu yang diamalkan. Dan inilah pendapat yang benar. Sedangkan bentuk-bentuk yang lain, terjadi banyak perselisihan di antara para ulama. Ada yang bathil lagi tidak berguna. Lafadh-lafdh yang dipakai dalam menyampaikan riwayat yang diterima dengan jalur ijazah adalah ajaza li fulan beliau telah memberikan ijazah kepada si fulan, haddatsana ijaazatan, akhbarana ijaazatan, dan anba-ana ijaazatan beliau telah memberitahukan kepada kami secara ijazah. • Al-Munaawalah atau menyerahkan. Al-Munawalah ada dua macam • Al-Munawalah yang disertai dengan ijazah. Ini tingkatannya paling tinggi di antara macam-macam ijazah secara muthlaq. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid, lalu mengatakan kepadannya,“Ini riwayatku dari si fulan, maka riwayatkanlah dariku”. Kemudian buku tersebut dibiarkan bersamanya untuk dimiliki atau dipinjamkan untuk disalin. Maka diperbolehkan meriwayatkan dengan seperti ini, dan tingkatannya lebih rendah daripada as-sama’ dan al-qira’ah. • Al-Munawalah yang tidak diiringi ijazah. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid dengan hanya mengatakan “Ini adalah riwayatku”. Yang seperti ini tidak boleh diriwayatkan berdasarkan pendapat yang shahih. Lafadh-lafadh yang dipakai dalam menyampaikan hadits atau riwayat yang diterima dengan jalan munawalah ini adalah jika si perawi berkata nawalanii wa ajazanii, atau haddatsanaa munawalatan wa ijazatan, atau akhbarana munawalatan. • Al-Kitabah Yaitu Seorang syaikh menulis sendiri atau dia menyuruh orang lain menulis riwayatnya kepada orang yang hadirs di tempatnya atau yang tidak hadir di situ. Kitabah ada 2 macam • Kitabah yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan syaikh,“Aku ijazahkan kepadamu apa yang aku tulis untukmu”, atau yang semisal dengannya. Dan riwayat dengan cara ini adalah shahih karena kedudukannya sama kuat dengan munaawalah yang disertai ijazah. • Kitabah yang tidak disertai dengan ijazah, seperti syaikh menulis sebagian hadits untuk muridnya dan dikirimkan tulisan itu kepadanya, tapi tidak diperbolehkan untuk meriwayatkannya. Di sini terdapat perselisihan hukum meriwayatkannya. Sebagian tidak memperbolehkan, dan sebagian yang lain memperbolehkannya jika diketahui bahwa tulisan tersebut adalah karya syaikh itu sendiri. • Al-I’lam memberitahu Yaitu Seorang syaikh memberitahu seorang muridnya bahwa hadits ini atau kitab ini adalah riwayatnya dari si fulan, dengan tidak disertakan ijin untuk meriwayatkan daripadanya. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum meriwayatkan dengan cara al-I’lam. Sebagian membolehkan dan sebagian yang lain tidak membolehkannya. Ketika menyampaikan riwayat dengan cara ini, si perawi berkata A’lamanii syaikhi guruku telah memberitahu kepadaku. • Al-Washiyyah mewasiati Yaitu Seorang syaikh mewasiatkan di saat mendekati ajalnya atau dalam perjalanan, sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi. Riwayat yang seorang terima dengan jalan wasiat ini boleh dipakai menurut sebagian ulama, namun yang benar adalah tidak boleh dipakai. Ketika menyampaikan riwayat dengan wasiat ini perawi mengatakan Aushaa ilaya fulaanun bi kitaabin si fulan telah meqasiatkan kepadaku sebuah kitab, atau haddatsanii fulaanun washiyyatan si fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuah wasiat. • Al-Wijaadah mendapat Yaitu Seorang perawi mendapat hadits atau kitab dengan tulisan seorang syaikh dan ia mengenal syaikh itu, sedang hadots-haditsnya tidak pernah didengarkan ataupun ditulis oleh si perawi. Wijadah ini termasuk hadits munqathi’, karena si perawi tidak menerima sendiri dari orang yang menulisnya. Dalam menyampaikan hadits atau kitab yang didapati dengan jalan wijadah ini, si perawi berkata,“Wajadtu bi kaththi fulaanin” aku mendapat buku ini dengan tulisan si fulan, atau “qara’tu bi khththi fulaanin” aku telah membaca buku ini dengan tulisan si fulan; kemudian menyebutkan sanad dan matannya. Lihat Pendidikan Selengkapnya Adayang mengatakan bahwa disamping syarat-syarat sebagaimana disebutkan diatas, antara perawi satu dengan perawi yang lain harus bersambung, hadits yang disampaikan itu tidak syadz tidak ganjil dan tidak bertentangan dengan hadits-hadits yang lebih kuat dan ayat-ayat Al-Qur'an. 3. Cara penerimaan hadits
Pada dasarnya mayoritas ulama merujuk pada sifat taqwa dan menjaga murû’ah ketika memberikan syarat siapa orang yang pantas disebut sebagai orang yang âdil. Hanya saja mungkin beberapa ulama berbeda dalam cara menyampaikan maksud dan tujuannya. Ini terlihat ketika banyak ulama memberikan syarat yang berbeda dalam menentukan seseorang pantas diberi predikat sebagai orang yang âdil dalam hal periwayatan hadis. Seperti halnya al-Hâkim memberikan tiga syarat seseorang dapat dikatakan âdil yaitu harus beragama Islam, tidak berbuat bid’ah, dan tidak berbuat maksiat.[1] Sedangkan Ahmad Muhammad Syakir memberikan enam syarat yang harus dimiliki seseorang yang pantas dikatakan sebagai orang yang âdil yaitu beragama Islam, sudah baligh, berakal, memelihara murû’ah, tidak berbuat fâsiq dan dapat dipercaya beritanya.[2] Nuruddin Itr Memberikan 5 syarat yang wajib dipenuhi seseorang yang mempunyai sifat âdil yaitu beragama Islam, sudah baligh, berakal sehat, bertakwa pada Allah SWT, dan berperilaku yang sejalan dengan murû’ah serta meninggalkan hal-hal yang mungkin merusaknya, yakni meninggalkan segala sesuatu yang bisa menjatuhkan harga diri manusia menurut tradisi masyarakat yang benar seperti mencaci-maki atau menghina orang lain.[3] Sedangkan al-Jurjani memberikan empat syarat saja pada seseorang yang bisa disebut sebagai orang yang âdil yaitu harus memelihara murû’ah, tidak berbuat dosa besar, menjauhi dosa kecil, dan biasanya benar.[4] Bahkan Hasby al-Shiddiqie hanya memberikan dua syarat saja untuk seseorang yang bisa dikatakan âdil yaitu berlaku taqwa dan memelihara âdil.[5] Perbedaan-perbedaan mengenai syarat ini bahkan dijelaskan oleh Syuhudi Ismail dalam bentuk tabel yang lebih memudahkan pembaca untuk memahaminya. Syuhudi Ismail mengumpulkan lima belas pendapat berbeda dari lima belas orang ulama tentang syarat-syarat seseorang dapat dikatakan âdil. Kesimpulan yang didapat oleh beliau adalah tidak ditemukannya kesamaan secara utuh di antara lima belas pendapat tersebut. Dalam penjelasannya beliau mengatakan bahwa hanya Nuruddin Itr yang menyebutkan syarat terbanyak yaitu tujuh syarat. Sedangkan al-Hâkim merupakan satu-satunya ulama yang memberikan syarat paling sedikit yakni tiga butir. Sedangkan rata-rata ulama hanya menyebutkan kurang dari tujuh syarat dan rata-rata pada umumnya ulama-ulama hanya menyebutkan empat sampai lima syarat saja yang diajukan.[6] Bisa dimengerti perbedaan-perbedaan itu dilandasi karena berbeda zaman dan keadaan kondisi umat pada saat itu. Sebagai contoh ketika para sahabat menerima hadis dari sahabat lain maka syarat yang diajukan mungkin tidak akan sama seperti seorang tabiin yang menerima riwayat dari tabiin lain. Syarat-syarat yang diajukan bisa longgar bisa juga sempit tergantung dari kebijaksanaan para ulama dalam menentukannya. Bahkan karena sikap hati-hatinya para ulama merinci kembali syarat yang diajukan oleh ulama sebelumnya. Seperti halnya âdil dan dhâbith menjadi hal yang berbeda pada zaman sekarang. Dilihat dari definisi serta syarat yang diajukan oleh para ulama, maka mayoritas ulama merujuk pada empat syarat umum yang harus dimiliki oleh rawi yang âdil. Keempat syarat tersebut adalah harus beragama Islam, orang yang mukalaf yakni sudah baligh dan berakal sehat, melaksanakan ketentuan agama dan memelihara murû’ah. [7] Agar lebih jelas penulis akan merinci kembali empat syarat umum yang harus dimiliki oleh seorang perawi yang âdil berikut dengan penjelasannya. Keempat syarat tersebut adalah Hal pertama yang harus dipenuhi oleh perawi yang âdil adalah harus beragama Islam. Syarat ini dibutuhkan periwayat ketika menyampaikan riwayat sebuah hadis bukan ketika menerima sebuah hadis.[8] Para ulama berbeda pendapat mengenai dalil yang digunakan sebagai dasar alasan mengapa seseorang yang ingin meriwayatkan hadis harus beragama Islam. Namun, sebagian ulama berlandaskan pada al-Hujurat ayat ke enam. يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٖ فَتَبَيَّنُوٓاْ أَن تُصِيبُواْ قَوۡمَۢا بِجَهَٰلَةٖ فَتُصۡبِحُواْ عَلَىٰ مَا فَعَلۡتُمۡ نَٰدِمِينَ ٦ “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fâsiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”[9] Ayat di atas bermaksud memerintahkan kita untuk menyelidiki terlebih dahulu berita yang dibawa oleh orang fâsiq. Dengan menunjuk ayat tersebut, kebanyakan ulama berpendapat, orang fâsiq saja tidak dapat diterima periwayatan hadisnya apalagi, apalagi orang kafir.[10] Berbeda dengan ulama di atas, ulama lain menjadikan al-Baqarah ayat 282 sebagai dasar acuan menjadikan Islam sebagai syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang âdil. مِمَّن تَرۡضَوۡنَ مِنَ ٱلشُّهَدَآءِ ”saksi-saksi yang kamu ridhai.” Kata ridha dalam ayat ini, tidak dapat diwujudkan kecuali dengan agama Islam, karena orang kafir identik dengan khianat. Dan Islam tidak dapat menerima sifat khianat, walaupun orang kafir tersebut memiliki sifat jujur dan amanah.[11] Bahkan sebagian ulama memakai argumen aksioma al-Badihiy. Yaitu, mereka menyatakan bahwa hadis itu berkenaan dengan sumber agama Islam. Non muslim tidak dapat diterima beritanya tentang ajaran Islam. Hanya yang beragama Islamlah yang dapat diterima beritanya berkenaan dengan ajaran Islam.[12] Maka, menurut Syuhudi Ismail argumen-argumen yang dipakai sebagai dasar menjadikan Islam sebagai syarat tidaklah berasal dari dalil naqli yang sharih, tetapi berasal dari pemahaman ayat dan dalil logika. Walaupun argumen-argumen tersebut berbeda-beda, tetapi semua argumen itu saling memperkuat.[13] Mukallaf adalah perpaduan antara baligh dan berakal sehat. Dengan kata lain, anak kecil dan orang gila tidak dapat diterima periwayatan hadisnya karena mereka tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Seorang anak kecil yang belum baligh kadang kala sengaja berbuat bohong atau sembarangan, sedangkan orang gila bahkan lebih dari itu, karena pada dasarnya ia sama sekali tidak memiliki faktor ke dhâbith an seperti itu.[14] Argumen yang mendasari unsur berstatus mukalaf ini tidak ada yang berupa dalil naqli yang sharih, dalam arti khusus untuk syarat periwayatan hadis. Ulama dalam hal ini menggunakan dalil naqli yang sifatnya umum.[15] Sebagaimana dalam hadis dikatakan “terangkat pena dari tiga orang dari orang gila sampai sembuh, dari orang tidur sampai terbangun dan dari anak kecil sampai mimpi basah”[16] Terlepas dari dalil di atas, dalam hal ini dapat dinyatakan pula bahwa argumen yang digunakan sebagai dasar penetapan mukalaf menjadi salah satu syarat adalah argumen aksioma juga.[17] Namun, syarat ini hanya harus dipenuhi oleh orang yang ingin menyampaikan riwayat hadis saja. Untuk kegiatan penerimaan riwayat hadis dapat saja masih belum mukalaf, asalkan dia telah mumayyiz dengan kata lain dapat memahami maksud pembicaraan dan dapat membedakan antara sesuatu dan sesuatu yang lain. Jadi, bisa dikatakan jika seorang anak kecil menerima riwayat hadis, kemudian setelah mukalaf riwayat tersebut disampaikan kepada orang lain, maka penyampaian riwayat hadisnya telah memenuhi salah satu kriteria ke shaẖîẖ an sanad seseorang.[18] 3. Melaksanakan ketentuan agama Para ulama kebanyakan mengambil surat al-Hujurat ayat enam sebagai dasar penetapan melaksanakan ketentuan agama sebagai salah satu syarat. Ayat tersebut berbunyi “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fâsiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”[19] Dengan jelas ayat ini memerintahkan kita untuk meneliti kebenaran berita yang berasal dari orang fâsiq. Mayoritas menggunakan ayat ini sebagai dalil bahwa riwayat hadis yang diriwayatkan oleh orang fâsiq harus ditolak.[20] Disebutkan bahwa apabila ayat di atas dihubungkan dengan sebab turunnya Alqur’an maka kata fâsiq dalam ayat tersebut berarti orang yang berkata bohong.[21] Menurut Zamakhsyari sendiri arti asal dari kata fâsiq ialah keluar dari jalan yang lurus.[22] Namun, menurut sebagian ulama kata fâsiq dalam ayat tersebut berarti pendusta dan sebagian lain mengartikannya dengan orang yang dikenal berbuat dosa.[23] Dalam menerapkan hukum yang diambil dari Alqur’an ulama menganut suatu kaidah hukum yang disebut al-ibrah bi umum al-lafzh la bi khushush al-sabab. Kaidah mempunyai pengertian bahwa hukum yang diambil didasarkan pada pengertian umum redaksi ayat bukan didasarkan kejadian khusus yang melatar belakangi turunnya ayat tersebut.[24] Apabila kaidah ini diterapkan pada ayat ini, maka ayat ini tidak hanya berlaku pada Walid bin Uqbah saja, yaitu orang yang telah membuat laporan palsu kepada Nabi, namun berlaku kepada masyarakat umum yang berbuat demikian.[25] Raghib al-Asfahani W. 502 H mengatakan bahwa kata fâsiq dipakai untuk menyebut perbuatan dosa baik kecil ataupun besar, sedikit ataupun banyak. Tetapi yang lebih masyhur kata fâsiq disebutkan untuk menyebut perbuatan dosa yang banyak dan terbanyak. Dengan kata lain, seseorang bisa dikatakan fâsiq karena orang itu pada awalnya menaati dan melaksanakan hukum-hukum syariat Islam dan mengakui kebenarannya, tetapi di sisi lain dia merusakkan sebagian atau bahkan seluruh hukum tersebut. Maka, orang kafir bisa dikatakan orang fâsiq karena telah merusak hukum yang dibenarkan oleh akal dan fitrah manusia yaitu Islam.[26] Beberapa ulama tafsir menjelaskan bahwa arti asal kata fisq adalah keluar dari sesuatu. Sedangkan, arti menurut syariat adalah keluar dari ketaatan kepada Allah SWT. Bentuknya bisa berupa kekufuran ataupun perbuatan maksiat lainnya.[27] Bisa dikatakan bahwa orang yang tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan agama Allah SWT tidak akan merasa berat untuk membuat berita bohong, baik berita umum maupun riwayat hadis yang khusus dan sakral. Karenanya orang tersebut tidak bisa dipercaya periwayatan hadisnya.[28] Sebagian ulama menjadikan salah satu hadis Nabi sebagai dasar menjadikan menjaga murû’ah sebagai syarat. Hadis yang dimaksud adalah حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ رِبْعِىِّ بْنِ حِرَاشٍ عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَمْرٍو أَبِى مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُولَى إِذَا لَمْ تَسْتَحِى فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ “Diriwayatkan dari Aqabah ibnu Amr dan Ibnu Mas’ud bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda pernyataan para Nabi yang telah dikenal oleh manusia adalah bila anda tidak merasa malu, maka lakukanlah apa yang kamu kehendaki”[29] Ibnu Qudamah mengatakan bahwa orang yang memelihara rasa malunya berarti memelihara murû’ahnya. Jika orang berlaku demikian maka pantang baginya untuk mengatakan atau menyampaikan berita dusta, karena perbuatan seperti itu adalah perbuatan hina yang tidak akan dilakukan bahkan dihindari oleh orang yang sangat menjaga sifat murû’ahnya.[30] Menyimak beberapa definisi dan syarat yang diajukan oleh banyak ulama di atas, seolah-olah secara umum dapat disimpulkan bahwa seorang rawi yang âdil digambarkan dan diharuskan sempurna dalam bingkai batas-batas ideal, di mana ia harus menjadi seseorang yang tak berdosa. Inilah persoalan yang selalu dikhawatirkan di mana dengan konsep âdil itu diterjemahkan sebagai sesuatu yang berada di luar dimensi insani. Penerjemahan seperti ini, sebenarnya tak bisa dipungkiri karena ditujukan dengan tujuan untuk menggapai autentisitas hadis yang optimal. Namun, di sisi lain dibutuhkan adanya tolak ukur ilmiah dalam menerima periwayatan hadis berhubung pengkodifikasiannya terlambat dibanding Alqur’an. Oleh karena itulah, kebanyakan ulama menerjemahkan âdil pada sisi yang lebih realistis sehingga dapat terukur secara ilmiah.[31] Sebagaimana yang dikatakan oleh al-Syâfiî’, Ibnu al-Musayyab dan lain-lain. Ibnu al-Musayyab mengatakan bahwa, yang dimaksud âdil bukanlah yang terlepas dari dosa karena bagaimanapun juga “tidak ada seorang pun yang memiliki kemuliaan atau keilmuan kecuali ia pun memiliki aib. Namun, karena keutamaannya lebih banyak daripada kekurangannya, hal ini menjadikan aibnya tak tampak secara jelas.”[32] Hal senada dikemukakan pula oleh al-Syâfiî’ setelah beliau menjelaskan secara ideal konsep-konsepnya. Dalam hal ini beliau berkata bahwa, “aku tidak mengakui adanya seseorang diberi ketaqwaan pada Allah SWT sehingga ia tidak mencampurkannya dengan kemaksiatan. Hal seperti ini sebagaimana terjadi pada Yahya bin Zakaria Namun persoalannya, apabila ketaatan seseorang itu lebih banyak dari kemungkarannya maka ia pun termasuk orang yang âdil.[33] Adapun hal lain yang harus diperhatikan dalam memahami konsep âdil, di samping memiliki pengertian “tidak terlepas dari dosa”, juga yang dimaksud dengan âdil harus dinisbahkan pada periwayatan hadis bukan pada persaksian. Dalam hal ini, dalam persaksian dibutuhkan adanya dua orang saksi, sedangkan dalam periwayatan hadis minimal dibutuhkan satu orang.[34] Atas dasar ini, para ahli hadis menyusun kaidah-kaidah yang berkaitan dengan syarat dan definisi seseorang disebut orang yang âdil tidak bertentangan dengan fitrah kemanusiaan. Para ahli hadis menilai âdil tidaknya seseorang bukan berdasarkan kebersihan orang tersebut dari dosa, melainkan yang lebih berat timbangan sifat âdil-nya daripada syadz-nya.[35] [1] Muhammad Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadis Ijtihad al-Hâkim dalam menentukan Status Hadis Jakarta Paramadina, 2009, h. 94 [2] Muhammad Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadis. [3] Nuruddin Itr, Ulumul Hadis. [4] al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat. h. 156 [5] Hasbyi al-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. h. 205 [7] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis. [8] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis. h. 137 [9] Depatemen Agama RI, Alqur’an dan Terjemahannya. h. 846 [10] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis. [11] Muhammad Dhiya’ al-Rahmân al-A’zhamî, Dirâsat fi al-Jarẖ wa al-Ta’dîl, Riyadh Dâr al-Salam, 1402 H, h. 177 [12] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis. h. 138 [13] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis. h. 138 [14] Nuruddin Itr, Ulumul Hadis. h. 73 [15] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis. h. juga Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, Surabaya Salim bin Sa’ad bin Nabhan wa Akhuhu Ahmad, h. 44 [16] Ditakhrij oleh Imam Ahmad, Abû Daud, dan al-Hâkim dari Umar dan Ali ada juga jalur lain dari sayyidah A’isyah Lihat juga Jalaluddin al-Suyuthi, Fath al-Kabir fi Dhamm al-Ziyadah ila al-Jami’ al-Shagir, Mesir tanpa penerbit, Lihat juga Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushûl al-Hadis Pokok-Pokok Ilmu Hadis. h. 203 [17] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis, h. 139 [18] Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta Bulan Bintang, 1992, Cet. 1, h. 230 [19] Depatemen Agama RI, Alqur’an dan Terjemahannya. h. 846 [20] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis. h. 139. Lihat juga Abû Hasan Ali bin Abî Ali bin Muhammad al-Âmidiy, al-Ahkâm fi Ushûl al-Ahkâm, Mesir Muhammad Ali Shâbih wa Aulâduh, 1387 H, juz 1, h. 261 [21] Abû Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi, Asbâb al-Nuzûl Alqur’an, Riyadh Dâr al-Qiblat li Saqafat al-Islamiyah, 1404 H, h. 412-414 [22] Abû Qâsim Jar al-Allah Mahmûd bin Umar al-Zamakhsyari, al-Faiq fi Ghârib al-Hadis, Beirut Dâr al-Fikr, 1399 H, h. 116 [23] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis. h. 139. Lihat juga Abû Abd al-Allah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, Jamî’ li Ahkam Alqur’an, Kairo Dâr al-Kitâb al-Arabi, 1387 H, Cet. 3, juz 16, h. 311-312 [24] Muhammad al-Arusi Abd al-Qadir, Masalah Takhshish al-Am bi al-Sabab au al-Ibrah bi Umum al-Hukm la bi Khushush al-Sabab, Kairo al-Mathba’ah al-Arabiyyah al-Hadisah, 1403 H, h. 54-62 [25] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis. h. 140 [26] Abû Qasim al-Husain bin Muhammad al-Raghib al-Asfahani, al-Mufradat fi Gharib Alqur’an, Mesir Mushtafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1382 H, h. 380 [27] al-Qurthubi, Jami’ li Ahkâm Alqur’an. juz 1, h. 245-246 [28] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis. h. 141 [29] Muhammad bin Yazid Abi Abdillah al-Qazawaini, Sunan ibn Majah, Beirut Dâr al-Fikr, juz II, h. 1400 [30] Abû Muhammad Abd al-Allah bin Ahmad bin Muhammad Ibn Qudamah, al-Mughni li Ibn Qudamah, Riyadh Maktabah al-Riyadh al-Hadisah, 1401 H, Juz IX, h. 169 [31] M Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis,. [32] M Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis,. [33] Rif’at Fawzi Abd al-Muthallib, Tawtsiq al-Sunnah fi al-Qarn al-Tsani al-Hijri. lihat juga M Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis,. [34] Fatcurrahman, Ikhtishar Musthalâh 249. lihat juga M Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis. [35] Faruq Hamadah, al-Manhaj al-Islami fi al-Jarẖ wa al-Ta’dîl Dirâsah Manhajiyyah fi Ulûm al-Hadis, Beirut Dâr al-Nasyr al-Ma’rifah, 1989, h. 158-159. Lihat juga Abdul Hakim, Adalah al-Shahabah Menurut Ahmad Amin. h. 29
Haditsdhaif ialah hadits yang tidak memenuhi persyaratan hadits shahih dan hadits hasan. Yaitu hadis yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa hadis mauquf, maqthu', mursal, mu'allaq, mudallas, munqathi' atau mu'dlal), atau diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, atau mengandung kejanggalan atau cacat.
Kriteria-kriteria Hadits Shahih Syarah Mandzumah al Baiquniyah Dalam matan Baiquniyah أَوَّلُهَا الصَّحِيحُ وَهْوَ مَا اتَّصَلْ … إسْنَادُهُ وَلَمْ يَشُذَّ أَوْ يُعَلْ Yang pertama adalah shahih, yaitu yang bersambung…sanadnya dan tidak syadz atau mengandung illat penyakit. ٤ – يَرْوِيهِ عَدْلٌ ضَابِطٌ عَنْ مِثْلِهِ … مُعْتَمَدٌ فِي ضَبْطِهِ وَنَقْلِهِ Diriwayatkan oleh orang yang adil, kokoh dalam periwayatan mendapatkan khabar dari orang yang semisal dengannya…yang diakui dalam kekokohan dan penukilan Penjelasan al-Imam al-Baiquniy rahimahullah menyebutkan kriteria atau persyaratan hadits shahih ada 5, yaitu Sanadnya bersambung. Para perawinya adil. Para perawinya kokoh dalam periwayatan dhobth. Tidak syadz Tidak memiliki illat penyakit/ cacat yang tercela Masing-masing poin itu akan dijelaskan secara lebih mendetail 1. SANADNYA BERSAMBUNG Salah satu kriteria suatu hadits dikatakan shahih adalah jika sanadnya bersambung. Masing-masing perawi benar-benar mendengar langsung dari perawi di atasnya. Berikut ini adalah contoh hadits dalam Shahih al-Bukhari yang menunjukkan sanadnya bersambung. Al-Imam al-Bukhari menyatakan حَدَّثَنَا خَلَّادُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ طَهْمَانَ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ نَزَلَتْ آيَةُ الْحِجَابِ فِي زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ وَأَطْعَمَ عَلَيْهَا يَوْمَئِذٍ خُبْزًا وَلَحْمًا وَكَانَتْ تَفْخَرُ عَلَى نِسَاءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَتْ تَقُولُ إِنَّ اللَّهَ أَنْكَحَنِي فِي السَّمَاءِ Telah menceritakan kepada kami Khollaad bin Yahya ia berkata telah menceritakan kepada kami Isa bin Thohmaan, ia berkata Aku mendengar Anas bin Malik –semoga Allah meridhainya- berkata Ayat perintah Hijab turun terkait dengan Zainab bintu Jahsy. Pada saat itu Nabi memberikan makan kepada tamu undangan berupa roti dan daging kambing. Zainab berbangga di hadapan para istri Nabi shollallahu alaihi wasallam yang lain. Zainab berkata Sesungguhnya Allah menikahkan aku dari atas langit al-Bukhari. Sanad dalam hadits itu terdapat perawi dari al-Imam al-Bukhari sampai Anas bin Malik adalah Khollaad bin Yahya, Isa bin Thohmaan, dan Anas bin Malik. Al-Imam al-Bukhari mendengar langsung dari Khollaad bin Yahya. Khollaad bin Yahya mendengar langsung dari Isa bin Thohmaan. Isa bin Thohmaan mendengar langsung dari Anas bin Malik. Jika ditelusuri dalam kitab-kitab biografi para perawi hadits, akan bisa dipastikan bahwa masing-masing perawi itu memang benar-benar pernah mendengar hadits berguru pada perawi yang setingkat di atasnya. Shighotut Tahammul Dalam penyampaian hadits, seseorang perawi akan mengungkapkan bagaimana perawi yang satu tingkat di atasnya menyampaikan hadits itu kepada dia. Cara pengungkapan tersebut dinamakan shighotut tahammul. Ada beberapa contoh shighotut tahammul yang mengisyaratkan ketersambungan sanad, di antaranya adalah حَدَّثَنَا telah menceritakan kepada kami أَخْبَرَنَا telah mengkhabarkan kepada kami سَمِعْتُ saya mendengar حَدَّثَنِي telah menceritakan kepadaku أَنْبَأَنَا telah memberitahukan kepada kami Ungkapan-ungkapan ini adalah beberapa contoh shighotut tahammul yang menunjukkan bahwa perawi itu benar-benar mendengar langsung dari perawi yang setingkat di atasnya. Berbeda dengan penggunaan shighotut tahammul seperti عَنْ dari Penggunaan kata an dari sebagai pengungkapan bagaimana suatu perawi menerima hadits itu, tidaklah secara tegas memastikan bahwa perawi itu benar-benar mendengar langsung dari perawi yang setingkat di atasnya. Penggunaan shighotut tahammul an disebut juga periwayatan an-anah atau mu’an-an. Perhatikan perbedaan penggunaan shigotut tahammul berikut ini dalam contoh yang berbeda. Contoh pertama الزُّهْرِي حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ Az-Zuhriy berkata telah menceritakan kepada kami Said bin al-Musayyab Contoh kedua الزُّهْرِي عَنْ سَعِيْدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ Az-Zuhriy dari Said bin al-Musayyab Contoh pertama menunjukkan bahwa az-Zuhriy mendengar hadits itu langsung dari Said bin al-Musayyab. Sedangkan contoh kedua adalah riwayat an-anah atau mu’an-an, yang tidak menunjukkan secara tegas bahwa az-Zuhriy menerima hadits itu langsung dari Said bin al-Musayyab. Bisa juga az-Zuhriy mendengar dari orang lain yang orang itu mendengar dari Said bin al-Musayyab. ✅ Beberapa Kondisi Tidak Bersambungnya Sanad Jika sanadnya tidak bersambung, riwayat itu lemah, tidak shahih. Ada beberapa keadaan sanad yang terputus atau tidak bersambung, yaitu Munqothi’ terputus pada bagian manapun dalam sanad. Berapapun jumlah perawi yang terputus. Mursal, terputus pada perawi Sahabat. Dari seorang Tabi’i murid Sahabat Nabi langsung menisbatkan hadits pada Nabi. Mu’dhol, terputus pada 2 atau lebih perawi secara berurutan. Mu’allaq, terputus di awal sanad Mudallas, tidak meyakinkan sebagai sanad yang bersambung karena perawinya suka menyamarkan keadaan perawi lain. Kelima istilah tersebut akan dibahas pada bagian tersendiri dalam penjelasan Mandzhumah al-Baiquniyyah ini, insyaallah beserta contoh-contohnya. Ada pula hadits yang tidak memiliki sanad sama sekali. Hadits ini masuk kategori Laa Ashla Lahu tidak ada asalnya. Lebih parah kondisinya dibandingkan hadits lemah yang bersanad. Contoh hadits yang Laa Ashla Lahu karena tidak memiliki sanad riwayat, adalah Hendaknya kalian berpegang teguh dengan agamanya para wanita-wanita tua Ihya’ Ulumuddin karya al-Ghozaliy Para Ulama menilai hadits ini sebagai hadits yang tidak asalnya. Di antara Ulama yang menilai demikian adalah Tajuddin as-Subkiy dan as-Sakhawiy. Tajuddin as-Subkiy meneliti kitab Ihyaa’ Ulumuddin karya al-Imam al-Ghozali dan mengumpulkan hadits-hadits yang beliau tidak menemukan sanadnya. Beliau sendirikan kumpulan hadits itu dalam bagian tersendiri pada kitab Thobaqoot asy-Syafiiyyah al-Kubro. Sedangkan as-Sakhowiy menilai hadits itu tidak memiliki sanad di dalam kitab al-Maqooshidul Hasanah. Baik Tajuddin as-Subkiy maupun as-Sakhowiy adalah Ulama Syafiyyah. ✅ Silsilah Sanad Paling Shahih Di antara sanad-sanad yang shahih, para Ulama ada yang menyebutkan tentang silsilah sanad paling shahih. Menurut al-Imam al-Bukhari, silsilah sanad paling shahih adalah Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar. Berikut ini adalah contoh hadits yang berisi sanad paling shahih menurut al-Bukhari عَنْ مَالِك عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الَّذِي تَفُوتُهُ صَلَاةُ الْعَصْرِ كَأَنَّمَا وُتِرَ أَهْلَهُ وَمَالَهُ Dari Malik dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar bahwasanya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda Orang yang terlewatkan dari sholat Ashar bagaikan orang yang kehilangan keluarga dan hartanya Muwaththa’ al-Imam Malik, juga dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim Sedangkan menurut al-Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih, silsilah sanad yang paling shahih adalah az-Zuhriy dari Salim dari ayahnya, yaitu Ibnu Umar radhiyallahu anhu. Contoh hadits yang sanadnya melalui jalur tersebut adalah حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ عَنْ مَعْمَرٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اسْتَأْذَنَتْ امْرَأَةُ أَحَدِكُمْ فَلَا يَمْنَعْهَا al-Imam al-Bukhari menyatakan telah menceritakan kepada kami Musaddad ia berkata telah menceritakan kepada kami Yazid bin Zurai’ dari Ma’mar dari az-Zuhriy dari Salim bin Abdillah dari ayahnya dari Nabi shollallahu alaihi wasallam Jika seorang wanita istri meminta ijin kepada kalian untuk sholat di masjid, janganlah melarangnya al-Bukhari dalam Shahihnya 2. PERAWI ADIL DAN 3. KOKOH DHOBITH Salah satu syarat hadits dikatakan shahih adalah jika semua perawinya adil dan kokoh dhobith dalam meriwayatkan. Al-Imam al-Baiquniy rahimahullah menyatakan يَرْوِيهِ عَدْلٌ ضَابِطٌ عَنْ مِثْلِهِ … مُعْتَمَدٌ فِي ضَبْطِهِ وَنَقْلِهِ Diriwayatkan oleh orang yang adil, kokoh dalam periwayatan mendapatkan khabar dari orang yang semisal dengannya…yang diakui dalam kekokohan dan penukilan Mandzhumah al-Baiquniyyah Adil artinya lebih dominan kebaikan dibandingkan keburukannya, juga menghindari dosa-dosa besar maupun kebid’ahan. Sedangkan dhobith artinya kokoh dalam meriwayatkan, baik secara hafalan atau tulisan. Benar saat menerima riwayat dan tepat pula saat menyampaikan riwayat. Jika seorang perawi memenuhi kriteria adil dan kokoh dhobit, disederhanakan penyebutannya menjadi tsiqoh. Perawi yang tsiqoh artinya dia adil dan kokoh dalam periwayatan. Ada beberapa kondisi perawi yang tidak memenuhi adil dan dhobith, di antaranya 1. Tidak dikenal. Kondisi perawi yang tidak dikenal, di antaranya adalah a. Mubham, tidak diketahui nama perawinya. b. Majhul tidak dikenal. Bisa berupa majhul ain atau majhul haal. Majhul ain artinya tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali satu perawi saja definisi al-’Iraqiy. Sedangkan majhul haal setidaknya ada 2 adil yang meriwayatkan darinya, tapi kondisi perawi itu apakah ada jarh celaan atau ta’dil pujian tidak diketahui. 2. Perawi tidak adil, misalkan karena kefasikan suka mencuri, minum khamr, dan sebagainya, atau berpemikiran bid’ah khawarij, qodariy, dan sebagainya. 3. Perawi tidak dhobith, misalkan karena lemah dalam hafalan atau sering salah dalam periwayatannya. 4. Perawi mudallis Perawi tersebut suka menyamarkan kondisi perawi di atasnya. Dalam riwayat mu’an-’an bisa ternilai sebagai riwayat yang sanadnya tidak bersambung. Berikut ini adalah contoh hadits yang lemah karena perawi yang mubham Hadits dalam Sunan Abi Dawud حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ الزُّهْرِيُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنِي ِإسْمَعِيلُ بْنُ أُمَيَّةَ سَمِعْتُ أَعْرَابِيًّا يَقُولُ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَرَأَ مِنْكُمْ { وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ } فَانْتَهَى إِلَى آخِرِهَا { أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ } فَلْيَقُلْ بَلَى وَأَنَا عَلَى ذَلِكَ مِنَ الشَّاهِدِين… Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad az-Zuhriy ia berkata telah menceritakan kepada kami Sufyan ia berkata telah menceritakan kepadaku Ismail bin Umayyah ia berkata aku mendengar seorang Badui pedalaman berkata Aku mendengar Abu Hurairah berkata Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda Barangsiapa yang membaca wattiini waz zaytuun kemudian sampai pada akhirnya kalimat alaysallaahu bi ahkamil haaakimiin, hendaknya ia mengucapkan Balaa wa ana minasy syaahidiin…. Abu Dawud. Di dalam sanad hadits itu terdapat seorang yang tidak diketahui dengan jelas siapa namanya, sehingga tidak diketahui pula siapa orangnya. Hanya disebut seorang Badui yang mengaku mendengar dari Abu Hurairah. Contoh lain hadits yang tidak memenuhi kriteria perawinya semua adil dan dhobith adalah hadits berikut ini, yaitu hadits yang mengandung perawi yang lemah tidak dhobith dan majhul tidak dikenal. Hadits Ali tentang bersedekap di bawah pusar saat sholat dalam Sunan Abi Dawud حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَحْبُوبٍ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ إِسْحَقَ عَنْ زِيَادِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ مِنَ السُّنَّةِ وَضْعُ الْكَفِّ عَلَى الْكَفِّ فِي الصَّلَاةِ تَحْتَ السُّرَّةِ Abu Dawud as-Sijistaniy menyatakan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mahbuub ia berkata telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyaats dari Abdurrahman bin Ishaq dari Ziyaad bin Zaid dari Abu Juhaifah bahwasanya Ali radhiyallahu anhu berkata Termasuk Sunnah adalah meletakkan telapak tangan di atas telapak tangan dalam sholat di bawah pusar Abu Dawud Abdurrahman bin Ishaq al-Waasithiy lemah. Sedangkan Ziyaad bin Zaid majhul menurut adz-Dzahabiy dalam Miizaanul I’tidal fii Naqdir Rijaal. ✅ Kitab Referensi Biografi para Perawi Hadits Para Ulama menulis karya-karya yang berisikan biografi taraajum para perawi hadits. Kitab tersebut ada yang mengkhususkan pada perawi yang terpercaya tsiqoh saja. Ada pula yang hanya berisikan perawi lemah dan yang ditinggalkan periwayatannya. Ada pula yang berisi kumpulan perawi baik yang lemah maupun yang terpercaya. Berikut ini akan ditampilkan beberapa di antara karya para Ulama tersebut berdasarkan klasifikasi masing-masing. ☑ Kitab biografi para perawi hadits khusus untuk yang terpercaya saja ats-Tsiqoot karya Ibnu Hibban. Ma’rifatus Tsiqoot karya Ahmad bin Abdillah bin Sholih Abul Hasan al-Ijliy ☑ Kitab biografi para perawi hadits yang lemah dan ditinggalkan periwayatannya adh-Dhu’afaa’ al-Kabiir karya al-Uqailiy. adh-Dhu’afaa’ ash-Shoghir karya al-Bukhari. adh-Dhu’afaa’ wal Matrukiin karya Ibnul Jauziy. adh-Dhu’afaa’ wal Matrukiin karya anNasaai. adh-Dhu’afaa’ karya Abu Nuaim al-Ashbahaaniy. al-Majruuhiin karya Ibnu Hibban. al-Mughniy fid Dhu’afaa’ karya Syamsuddin Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabiy. ☑ Kitab biografi para perawi hadits baik yang terpercaya maupun tidak al-Jarh wat Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim. Tahdziibul Kamaal karya Yusuf bin az-Zakiy Abdurrahman Abul Hajjaaj al-Mizziy. Taqriibut Tahdziib karya Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqolaaniy. Miizaanul I’tidaal fii Naqdir Rijaal karya Syamsuddin Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabiy. atTaariikh al-Kabiir karya al-Bukhariy. 4. TIDAK SYADZ Salah satu kriteria agar suatu hadits disebut sebagai hadits yang shahih dan bisa diterima adalah tidak syadz. Artinya, riwayat itu tidak menyelisihi riwayat lain yang perawinya lebih tsiqoh atau lebih banyak. Al-Imam al-Baiquniy rahimahullah menyatakan tentang kriteria hadits shahih أَوَّلُهَا الصَّحِيحُ وَهْوَ مَا اتَّصَلْ … إسْنَادُهُ وَلَمْ يَشُذَّ أَوْ يُعَلْ Yang pertama adalah shahih, yaitu yang bersambung…sanadnya dan tidak syadz atau mengandung illat penyakit Mandzhumah al-Baiquniyyah Kita ambil contoh periwayatan dalam penyampaian berita pada kejadian sehari-hari. Seorang guru menyampaikan informasi pada murid-muridnya. Ada sepuluh siswa yang mendengar informasi langsung dari gurunya. Gurunya berharap, sepuluh siswa itu nanti meneruskan informasi itu kepada rekan-rekannya sesama siswa yang lain. Kesepuluh siswa ini adalah tsiqoh. Informasi yang disampaikan oleh guru adalah besok kita akan melakukan rihlah perjalanan ke pantai. Namun, satu siswa yang bernama Ahmad mengaku bahwa guru menyampaikan informasi bahwa besok kita akan melakukan rihlah perjalanan ke gunung. Informasi yang ditangkap dan disampaikan Ahmad itu berbeda dengan kesembilan rekannya yang lain. Informasi yang disampaikan oleh Ahmad itu lemah, meski Ahmad adalah perawi yang tsiqoh, karena periwayatannya dalam berita itu syadz, menyelisihi periwayatan dari para perawi lain yang lebih tsiqoh atau lebih banyak jumlahnya, yang juga tsiqoh. Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah menyatakan إِنَّمَا الشَّاذُ مِنَ الْحَدِيْثِ أَنْ يَرْوِيَ الثِّقَاتُ حَدِيْثاً ، فَيَشُذَّ عَنْهُمْ وَاحِدٌ ، فَيُخَالِفَهُمْ Riwayat syadz dalam hadits adalah jika para perawi yang tsiqoh meriwayatkan hadits. Namun ada satu yang menyelisihi riwayat mereka al-Kifaayah fii ilmir Riwaayah karya al-Khothib 1/141 Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolaaniy berkata الشَّاذُ مَا رَوَاهُ الْمَقْبُوْلُ مُخَالِفاً لِمَنْ هُوَ أَوْلَى مِنْهُ Syadz adalah apa yang diriwayatkan oleh orang yang diterima periwayatannya namun menyelisihi periwayatan dari orang yang lebih utama dibandingkan dia Nuzhatun Nadzhor fii taudhiih Nukhbatil Fikar 1/213 ✅ Contoh Hadits Syadz Berikut ini akan disebutkan sebuah contoh hadits syadz. Hadits itu tentang sholat Isya yang dilakukan oleh Nabi shollallahu alaihi wasallam. Ada 4 jalur periwayatan. Tiga jalur periwayatan menjelaskan bahwa Nabi shollallahu alaihi wasallam sholat Isya menjelang tengah malam. Sedangkan 1 jalur periwayatan menjelaskan bahwa beliau melakukannya setelah lewat tengah malam. Satu jalur periwayatan ini syadz, sehingga lemah. Hadits tersebut ada dalam musnad atThoyaalisi, sebagai berikut حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ ، قَالَ حَدَّثَنَا قُرَّةُ ، عَنْ قَتَادَةَ ، عَنْ أَنَسٍ ، قَالَ نَظَرْنَا النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فِي الْعِشَاءِ حَتَّى مَضَى شَطْرُ اللَّيْلِ ، ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى بِنَا كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى وَبِيصِ خَاتِمِهِ مِنْ فِضَّةٍ فِي يَدِهِ Telah menceritakan kepada kami Abu Dawud at Thoyaalisiy ia berkata telah menceritakan kepada kami Qurrah dari Qotadah dari Anas ia berkata Kami melihat Nabi shollallahu alaihi wasallam di waktu Isya hingga telah berlalu setengah malam. Kemudian beliau keluar sholat bersama kami. Seakan-akan aku melihat pada kilauan cincin beliau yang terbuat dari perak pada tangan beliau Abu Dawud atThoyaalisiy dalam Musnadnya Sekalipun jalur riwayat ini para perawinya tsiqoh semua dan sanadnya bersambung, namun riwayat ini menyelisihi riwayat lain yang juga tsiqoh dengan sanad bersambung. Setidaknya ada 3 jalur periwayatan yang berbeda dengan 1 riwayat itu. Riwayat pertama Jalur riwayat dari Said bin ar Robi’ dari Qurrah dari Qotadah dari Anas bin Malik حَتَّى كَانَ قَرِيبٌ مِنْ نِصْفِ اللَّيْلِ Hingga mendekati setengah malam Muslim Riwayat kedua Jalur riwayat dari Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas bin Malik إِلَى شَطْرِ اللَّيْلِ أَوْ كَادَ يَذْهَبُ شَطْرُ اللَّيْلِ Menuju pertengahan malam atau hampir berlalu setengah malam Muslim Riwayat ketiga Jalur riwayat dari Kholid bin al-Harits dari Humaid dari Anas bin Malik إِلَى قَرِيبٍ مِنْ شَطْرِ اللَّيْلِ Hingga mendekati pertengahan malam anNasaai dan Ibnu Majah Hal ini menunjukkan bahwasanya riwayat Abu Dawud atThoyaalisiy tersebut lemah karena syadz, menyelisihi setidaknya 3 jalur lain yang sanadnya shahih. Perlu diketahui bahwasanya Abu Dawud atThoyaalisiy adalah Ulama yang berbeda dengan Abu Dawud as-Sijistaaniy penyusun Sunan Abi Dawud. Dari pemaparan tersebut kita mengetahui bahwasanya untuk menilai suatu hadits itu shahih atau tidak, kita tidak bisa berpatokan pada satu jalur riwayat saja. Jangan terburu-buru menilai suatu hadits shahih, sampai terkumpul semua riwayat yang berkaitan dengan itu. Mungkin saja suatu jalur riwayat sanadnya shahih, namun periwayatan itu menyelisihi jalur lain yang lebih shahih sehingga hukumnya adalah hadits syadz, yang masuk kategori lemah. Karena itu, penilaian shahih tidaknya suatu hadits semestinya dilakukan oleh Ulama pakar hadits. Terkait pelaksanaan sholat Isya, waktu terakhir adalah pada tengah malam. Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda وَوَقْتُ صَلَاةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ الْأَوْسَطِ Waktu sholat Isya hingga tengah malam Muslim Sebagai contoh, jika Maghrib adalah jam WIB dan Subuh pada WIB, maka rentang waktu malam adalah 10 jam. Jadi, waktu Isya berakhir pada 5 jam setelah Maghrib, yaitu jam WIB. Umar bin al-Khoththob radhiyallahu anhu pernah mengirim surat kepada Abu Musa al-Asy’ari untuk tidak lalai dari sholat Isya’ jangan sampai melakukannya hingga lewat tengah malam أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَتَبَ إِلَى أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ…وَأَنْ صَلِّ الْعِشَاءَ مَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ ثُلُثِ اللَّيْلِ فَإِنْ أَخَّرْتَ فَإِلَى شَطْرِ اللَّيْلِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِين Bahwa Umar bin al-Khoththob menulis kepada Abu Musa al-Asy’ariy…Sholatlah Isya’ pada sepertiga malam pertama. Jika engkau mau mengakhirkan, silakan lakukan hingga pertengahan malam, jangan termasuk orang yang lalai Malik, Abdurrozzaq, al-Baihaqy, Syaikh al-Albaniy menyatakan sanad riwayat ini shahih dalam Tamaamul Minnah 5. TIDAK MEMILIKI ILLAT YANG TERCELA QODIHAH Salah satu persyaratan agar suatu hadits ternilai shahih adalah tidak memiliki illat yang tercela. Illat secara bahasa bermakna penyakit atau cacat. Al-Imam al-Baiquniy rahimahullah menyatakan أَوَّلُهَا الصَّحِيحُ وَهْوَ مَا اتَّصَلْ … إسْنَادُهُ وَلَمْ يَشُذَّ أَوْ يُعَلْ Yang pertama adalah shahih, yaitu yang bersambung…sanadnya dan tidak syadz atau mengandung illat penyakitMandzhumah al-Baiquniyyah Illat itu baru bisa terlihat jika seluruh riwayat yang terkait hadits itu dikumpulkan. Illat suatu hadits tidaklah diketahui kecuali oleh Ulama yang benar-benar pakar dalam ilmu hadits. Adakalanya suatu illat tidak tercela. Hal itu jika tidak berimplikasi pada hukum tertentu. Sebagai contoh, berapakah harga unta Jabir saat dibeli oleh Nabi? Pada beberapa riwayat nampak berbeda-beda. Namun perbedaan itu tidaklah mengapa. Tanpa diketahui secara benar berapa harganya, kita sudah bisa mengambil faidah dari hadits itu baik secara fiqh, adab, dan sebagainya. Contoh lain adalah berapa jumlah istri Nabi Sulaiman saat beliau bersumpah akan menggilir’ istrinya dan lupa mengucapkan insyaallah? Pada riwayat-riwayat yang shahih berbeda-beda. Ada riwayat yang menyatakan 100. Sebagian riwayat ada yang menyatakan 70, ada pula yang 90. Tapi perbedaan ini tidaklah mengapa. Tidak berimplikasi terhadap kandungan pelajaran yang bisa dipetik dari hadits itu. ✅Contoh Hadits yang Memiliki Illat yang Tercela Bagaimana dengan illat yang tercela? Berikut ini kita akan menyimak contoh suatu hadits yang terlihat secara dzhahir sebagai hadits yang shahih, padahal sebenarnya lemah karena adanya illat yang tercela. ☑ Contoh Pertama Hadits yang Memiliki Illat Qodihah Hadits ini adalah hadits riwayat Ibnu Hibban dalam Shahihnya. Hadits tersebut menunjukkan larangan kencing dengan berdiri. …عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَبُلْ قَائِمًا "…dari Ibnu Juraij dari Nafi’ dari Ibnu Umar ia berkata Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda Janganlah engkau kencing berdiri" Ibnu Hibban dalam Shahihnya. Secara dzhahir, nampak bahwa sepertinya potongan sanad ini shahih. Ibnu Juraij memang tsiqoh, namun ia tergolong perawi yang mudallis. Riwayat ini pun adalah riwayat mu’an-an, yang menunjukkan bahwa Ibnu Juraij tidak secara tegas menyatakan bahwa ia mendengar hadits itu secara langsung dari Nafi’. Jika dilihat pada jalur riwayat yang lain, ternyata memang Ibnu Juraij tidak mendengar hadits itu langsung dari Nafi’, namun melalui satu perawi yang lain. Sayangnya, perawi itu lemah, yaitu Abdul Karim bin Abi Umayyah. Mari kita lihat riwayat berikut ini حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ بْنِ أَبِي أُمَيَّةَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ عُمَرَ قَالَ رَآنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا أَبُولُ قَائِمًا فَقَالَ يَا عُمَرُ لَا تَبُلْ قَائِمًا .…telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij dari Abdul Karim bin Abi Umayyah dari Nafi’ dari Ibnu Umar dari Umar ia berkata Rasulullah shollallahu alaihi wasallam melihat saat aku kencing berdiri. Nabi bersabda Wahai Umar, janganlah kencing berdiri Ibnu Majah Abdul Karim bin Abi Umayyah dinilai sebagai perawi yang lemah oleh para Ulama, di antaranya Abu Zur’ah. سُئِلَ أَبُوْ زُرْعَةَ عَنْ عَبْدِ الْكَرِيْمِ بْنِ أَبِى أُمَيَّةَ فَقَالَ هُوَ لَيِّنٌ Abu Zur’ah ditanya tentang Abdul Karim bin Abi Umayyah, dia menjawab Orang tersebut lemah al-Jarh wat Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim ar Raaziy nomor perawi 311 6/60. Bahkan, al-Imam Ahmad menilai perawi tersebut menyerupai matruk ditinggalkan periwayatannya. Faidah lain yang bisa ambil dari pemaparan ini adalah bahwa hadits dalam Shahih Ibnu Hibban tidak seluruhnya shahih. ☑ Contoh Kedua Hadits yang Memiliki Illat Qodihah Ada sebuah hadits tentang anjuran mengganti di hari lain bagi seseorang yang membatalkan puasa sunnah. Namun hadits tersebut menurut sebagian para Ulama adalah lemah, karena mengandung illat qodihah. Hadits tersebut ada dalam Muwattha’ Imam Malik sebagai berikut حَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنِ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّ عَائِشَةَ وَحَفْصَةَ زَوْجَيْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصْبَحَتَا صَائِمَتَيْنِ مُتَطَوِّعَتَيْنِ فَأُهْدِيَ لَهُمَا طَعَامٌ فَأَفْطَرَتَا عَلَيْهِ فَدَخَلَ عَلَيْهِمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ عَائِشَةُ فَقَالَتْ حَفْصَةُ وَبَدَرَتْنِي بِالْكَلَامِ وَكَانَتْ بِنْتَ أَبِيهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَصْبَحْتُ أَنَا وَعَائِشَةُ صَائِمَتَيْنِ مُتَطَوِّعَتَيْنِ فَأُهْدِيَ إِلَيْنَا طَعَامٌ فَأَفْطَرْنَا عَلَيْهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْضِيَا مَكَانَهُ يَوْمًا آخَرَ Telah menceritakan kepadaku Yahya dari Malik dari Ibnu Syihab bahwasanya Aisyah dan Hafshah kedua istri Nabi shollallahu alaihi wasallam pada pagi harinya berpuasa sunnah. Kemudian keduanya diberi hadiah makanan sehingga keduanya berbuka. Kemudian Rasulullah shollallahu alaihi wasallam masuk menemui keduanya. Aisyah berkata Hafshah mendahuluiku dalam berbicara. Ia memang benar-benar putri ayahnya seperti Umar. Hafshah menyatakan Pada pagi hari aku dan Aisyah berpuasa sunnah. Kemudian kami diberi hadiah makanan. Kami pun berbuka membatalkan puasa dengannya. Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda Gantilah puasa itu di hari lain Malik dalam al-Muwattha’ Hadits ini periwayatannya terputus antara Ibnu Syihab az-Zuhriy dengan Aisyah. Biasanya Ibnu Syihab mendengar hadits dari Aisyah melalui Urwah bin az-Zubair, Abu Salamah, atau Ubaidullah bin Abdillah bin Utbah. Ada jalur riwayat lain semakna dengan hadits itu yang menunjukkan bahwa Ibnu Syihab az-Zuhriy mendengar hadits itu dari Urwah bin az-Zubair حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ هِشَامٍ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ بُرْقَانَ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كُنْتُ أَنَا وَحَفْصَةُ صَائِمَتَيْنِ فَعُرِضَ لَنَا طَعَامٌ اشْتَهَيْنَاهُ فَأَكَلْنَا مِنْهُ فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَدَرَتْنِي إِلَيْهِ حَفْصَةُ وَكَانَتْ ابْنَةَ أَبِيهَا فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا صَائِمَتَيْنِ فَعُرِضَ لَنَا طَعَامٌ اشْتَهَيْنَاهُ فَأَكَلْنَا مِنْهُ قَالَ اقْضِيَا يَوْمًا آخَرَ مَكَانَهُ atTirmidzi berkata telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Mani’ ia berkata telah menceritakan kepada kami Katsir bin Hisyam ia berkata telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Burqon dari Ibnu Syihab az-Zuhriy dari Urwah dari Aisyah ia berkata Aku dan Hafshah pernah berpuasa. Kemudian kami diberi makanan yang kami senangi. Kami pun memakannya. Kemudian datanglah Rasulullah shollallahu alaihi wasallam. Hafshah mendahuluiku dalam menyampaikan kepada Nabi. Ia memang putri ayahnya. Hafshah berkata Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami berdua berpuasa, kemudian diberikan kepada kami makanan yang kami inginkan. Kami pun memakannya. Nabi menyatakan Gantilah di hari lain atTirmidzi Jika dilihat sepintas, seakan-akan hadits riwayat Malik itu dikuatkan oleh riwayat atTirmidzi ini. Sanad yang terputus pada riwayat Malik – Ibnu Syihab tidak pernah bertemu dengan Aisyah – seakan-akan terjembatani oleh riwayat atTirmidzi bahwa Ibnu Syihab mendengarnya dari Urwah bin az-Zubair. Namun, nampak jelas pada riwayat lain bahwa Ibnu Syihab mengaku tidak mendengar riwayat itu dari Urwah bin az-Zubair. Ia hanya mendengar dari beberapa orang yang tidak disebut namanya mubham. Mari disimak nukilan riwayat Ibnu Rahawaih berikut ini عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ قَالَ قُلْتُ لِابْنِ شِهَابٍ أَحَدَّثَكَ عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْر عَنْ عَائِشَةَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ ”مَنْ أَفْطَرَ فِي تَطَوُّعٍ ؛ فَلْيَقْضِهِ” ؟ قَالَ لَمْ أَسْمَعْ مِنْ عُرْوَةَ فِي ذَلِكَ شَيْئاً ، وَلَكِنِّي سَمِعْتُ فِي خِلَافَةِ سُلَيْمَانَ ابْنِ عَبْدِ الْمَلِكِ مِنْ نَاسٍ عَنْ بَعْضٍ مِنْ نِسَاءِ عَائِشَةَ أَنَّها َقَالَتْ… Dari Ibnu Juraij ia berkata Aku berkata kepada Ibnu Syihab Apakah Urwah bin az-Zubair meriwayatkan kepada anda dari Aisyah dari Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda kepada orang yang berbuka dari puasa Sunnah hendaknya ia menggantinya di hari lain? Ibnu Syihab berkata Aku tidak mendengar dari Urwah tentang hal itu. Akan tetapi aku mendengar pada masa kekhalifahan Sulaiman bin Abdil Malik dari seseorang dari sebagian hamba sahaya wanita Aisyah bahwasanya ia berkata…Musnad Ibnu Rahawaih 1/94, dinukil dalam Silsilah al-Ahaadits adh-Dhaifah karya Syaikh al-Albaniy 11/838 Jelaslah bahwa Ibnu Syihab tidak mendengar hadits itu dari Urwah. Tapi mendengar dari beberapa orang yang tidak jelas apakah tsiqoh atau tidak. Hal itu menunjukkan kelemahan riwayat tersebut. Jika ada yang bertanya Mengapa dalam riwayat atTirmidzi dinyatakan bahwa periwayatan Ibnu Syihab itu melalui Urwah? Jawabannya adalah Itu adalah kesalahan Ja’far bin Burqoon. Meski ia adalah perawi yang tsiqoh, namun khusus periwayatan dia dari az-Zuhriy adalah periwayatan yang guncang. Artinya, ia sering salah dalam periwayatan dari az-Zuhriy. Al-Imam adz-Dzahabiy menyatakan جَعْفَرُ بْنُ بُرْقَان عَنْ مَيْمُوْن بْنِ مِهْرَان قَالَ أَحْمَدُ يُخْطِىءُ فِي حَدِيْثِ الزُّهْرِي Ja’far bin Burqoon periwayatannya biasanya melalui Maimun bin Mihraan. Ahmad bin Hanbal berkata Dia Ja’far bin Burqoon sering salah dalam meriwayatkan hadits az-Zuhriy al-Mughniy fid Dhu’afaa’ 1/131 Al-Imam Ibnu Abi Hatim ar-Raaziy menukil ucapan Ibnu Numair tentang Ja’far bin Burqoon جَعْفَرُ بْنُ بُرْقَان ثِقَةٌ، أَحَادِيْثُهُ عَنِ الزُّهْرِي مُضْطَرِبَة Ja’far bin Burqoon tsiqoh terpercaya, namun hadits-haditsnya dari az-Zuhriy guncang al-Jarh wat Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim 1/321. Pemaparan di atas menunjukkan bahwa keshahihan maupun kelemahan suatu hadits tidaklah bisa dinilai dari satu riwayat saja. Perlu melihat riwayat-riwayat lain. Karena itu para Ulama jika hanya menilai satu riwayat saja, mereka ada yang mengistilahkan dengan sanad hadits ini shahih. Bukan berarti mereka menghukumi bahwa hadits itu shahih. Namun, mereka memastikan penilaian hanya untuk satu riwayat itu saja sanadnya shahih artinya bersambung tidak terputus dan perawinya tsiqoh. Dikutip dari naskah buku “Mudah Memahami Ilmu Mustholah Hadits Syarh Mandzhumah al-Baiquniyyah, Abu Utsman Kharisman Sumber
Pengertian hadis adalah segala yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang menjadi tumpuan umat Islam hingga saat ini. Ajaran agama Islam memiliki kitab suci AlQuran sebagai petunjuk hidup. Hadis sebagai sumber hukum kedua setelah AlQuran.. Keberadaan hadis, menjadi pelengkap dan menyempurnakan supaya umat tidak salah paham dalam memaknai setiap ayat atau ajaran agama. 5 Lima Syarat Hadis Shahih Berdasarkan kuantitas sanad, hadis dibagi menjadi dua; hadis mutawatir dan hadis ahad. Sedangkan ditinjau berdasarkan kualitas sanad, hadis dibagi menjadi tiga; hadis shahih, hasan, dan dhaif. Pada pembahasan berikut ini, kita akan memfokuskan pada penjelasan hadis shahih. Apa itu hadis shahih? Apa saja syaratnya? Secara bahasa, shahih berarti sehat atau lawan dari sakit. Makna ini menjadi makna sebenarnya untuk fisik, namun merupakan majaz untuk hadis. Sementara secara istilah, Hafidz Hasan Al-Mas’udiy Gurus besar Universitas Al-Azhar As-Syarif serta pengarang kitab Minhatu Al-Mughits, menjelaskan hadis shahih dalam kitabnya sebagaimana berikut. مَااتَّصَلَ اِسْنَدُهُ بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ ضبطا تاما عَنْ مِثْلِهِ اِلَى مُنْتَهَى السَّنَدِ مِنْ غَيْرِشُذُوْذٍ وَلَاعِلَّةٍ قَادِحَةٍ Hadis yang bersambung sanadnya diriwayatkan oleh rawi yang adil lagi dhabit kuat hafalannya dan dari rawi yabg sekualitas dengannya hingga puncak akhir sanada, terhindar dari syadz kejanggalan dan tidak ada illat cacat yang parah. Berdasarkan istilah tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hadis shahih itu harus memiliki lima syarat yang penjabarannya adalah sebagaimana berikut. Pertama, bersambung sanadnya ittishalus sanad. Artinya, tiap-tiap rawi periwayat hadis dari rawi lainnya benar-benar mengambil hadis secara langsung dari orang di atasnya dari sejak awal sanad sampai akhir sanad. Jadi, setiap rangkaian rawi dalam sanad tersebut memiliki hubungan guru dan murid. Hal ini bisa diketahui dengan melihat biografi masing-masing rawi di kitab sejarah para rawi hadis rijal al-hadis. Biasanya dalam kitab tersebut dicantumkan nama guru dan muridnya, namun apabila tidak disebutkan bisa juga diketahui dengan melihat perjalanan ilmiah atau tahun wafatnya. Kedua, Perawinya Adil di dalam periwayatan. Adil di sini bermakna perawi tersebut Islam, Aqil berfikir sehat, Baligh dewasa, terhindar dari melakukan dosa besar atau dosa-dosa kecil yang terus menerus, terhindar dari hal-hal yang menodai kepribadian. Misalnya makan di pasar, berjalan tanpa alas kaki atau tidak memakai penutup kepala Ketiga, Dlabith, artinya kuat ingatan. Sedangkan Dlabith ada dua macam; Dlabith Shadri, artinya ingatan rawi benar-benar tersimpan kuat di dalam pikirannya atas apa yang telah ia dengar dan terima, ingatannya tersebut sanggup ia keluarkan kapanpun dan di manapun ia kehendaki Dlabith Kitab, artinya rawi tersebut kuat ingatannya berdasarkan buku catatannya yang ia tulis sejak ia mendengar atau menerima hadis. Hal ini berlaku pada zaman pertama periwayatan hadis, untuk zaman sekarang cukup berdasar pada naskah-naskah yang telah disepakati dan telah disahihkan Keempat, Tidak terdapat kejanggalan. Maksudnya Periwayatan seorang rawi yang dikatakan tsiqah dipercaya berbeda dengan periwayatan banyak rawi lainnya yang juga tsiqah dipercaya, sebab ditambah atau dikurangi sanad maupun matannya Kelima, Tidak adanya kecacatan. Yaitu cacat yang berada pada hadis, di mana secara dlahir hadis tersebut dapat diterima, akan tetapi setelah diselidiki secara mendalam dan dengan seksama jalur periwayatannya mengandung cacat yang menyebabkan hadis itu ditolak. Mislanya hadis mursal atau munqathi’ akan tetapi diriwayatkan secara muttashil. العمدة Khoirul Anam KN
Daripengertian di atas maka bisa diambil kesimpulan bahwa syarat hadits mutawatir adalah sebagai berikut: 1. Diriwayatkan dari banyak perawi, yang dengannya diperoleh ilmu dharuri (ilmu pasti yang tidak mungkin ditolak) tentang benarnya khabar mereka. Namun tidak ada batasan tentang berapa jumlah mereka menurut pendapat yang shahih, akan tetapi hal itu tergantung dari kondisi perawi dan factor-faktor pendukung yang lain.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Jika kita membahas hadist, pasti terlintas bagaimana hadits bisa sampai pada kita dengar saat ini, dan bahkan manfaatnya dapat kita rasakan, siapa yang menyambungkan hadist dari masa Rasulullah sampai pada telinga kita sekarang? Jawabannya adalah kita perlu membaca artikel ini, perawi sayarat dan proses transformasinya...Pengertian Perawi HaditsPerawi hadits adalah orang yang meriwayatkan suatu hadits dengan telah memenuhi syarat yang telah ditentukan. Menjadi seorang perawi merupakan kedudukan yang sangat mulia karena suatu pekerjaan yang tidak sembarang orang bisa melakukannya. Peran seorang perawi hadits bisa kita rasakan sampai saat ini, yaitu dengan adanya hadits yang sampai pada telinga kita pada saat ini, mengingat hadits digunakan sebagai sumber hukum kedua setelah Al - Qur'an, sebagai penjelas hukum - hukum didalamnya. Coba kita bayangkan, apabila tidak ada perawi hadits maka hal - hal yang di sampaikan oleh Rasulullah SAW dan yang sangat berguna dalam kehidupan dunia dan akhirat kita, kita tidak bisa mengetahuinya, karena tidak ada seorang perawi yang mampun menjaga hadits hingga sampai pada telinga kita saat ini, maka kita akan merasa merugi sekali, karena tidak mampu mengikuti sunnah Rasullullah SAW. Lalu apasih yang menjadikan seorang perawi merupakan profesi yang sangat mulia, dan bagaimana kualifikasinya, simak materi selanjutnya. Syarat Menjadi Seorang Perawi Hadits adapun syarat menjadi seorang perawi hadits yang telah disepakati oleh para muhaditsin adalah 1. Beragama Islam yaitu perawi hadits harus beragama islam seperti apa yang telah disepakati oleh para ulama2. Baligh yaitu seorang perawi hadits juga harus baligh atautelah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk3. Memiliki ketahanan dalam ingatannya atau disebut sebagai dlabitul rawi yaitu seorang perawi hadits juga harus memiliki ingatan yang tajam hal ini karena jika seorang perawi hadist itu memiliki gangguan terhadap ingatannya maka ditakutkan dapat merancaukan isi dari hadits 4. Adil 'adalah, adil dimaksudkan disini adalah dapat menjaga dirinya dari segala perbuatan - perbuatan mungkar dan ingkar, karena seorang perawi hadist diharapkan dapat menuntuk umat ke jalan yang benar, oleh karena itu dimulai dari dirinya jika ada salah satu syarat diatas yang tidak terpenuhi dengan baik atau adanya kecacatan syarat oleh seorang perawi hadits maka dapat menghalangi hadits menjadi hadits yang shahih. Nah setelah kita mengetahui apa saja syarat menjadi seorang perawi hadits, maka kita juga harus mengetahui nih bagaimana seorang perawi hadits sampai bisa menerima suatu hadits atau juga bisa kita sebut sebagai trasformasi perawi Perawi Hadits 1 2 Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya Berikutini, akan kami kupas hadits dan dalil tentang melaksanakan budaya di atas. Jawaban tentang masalah ini kami ambil dari kitab Qurrah al-'Ain bi Fatawi Isma'il Zain al-Yamani halaman 175 cetakan Maktabah al-Barakah dan kitab al-Hawi lil Fatawi karya al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi juz 2 halaman 179 cetakan Darul Kutub, Bairut. Yang dimaksud hadits shahih adalah hadits yang sehat dan benar. Pengertian hadits shahih menurut bahasa berarti sah, benar, sempurna, sehat tiada celanya, pasti. Defisi hadis shahih secara konkrit baru muncul setelah Imam Syafi'i memberikan penjelasan tentang riwayat yang dapat dijadikan apakah hadits shahih itu? kata Shahih الصحيخ dalam bahasa diartikan orang sehat antonim dari kata as-saqim السقيم= orang yang sakit jadi yang dimaksud hadits shahih adalah hadits yang sehat dan benar tidak terdapat penyakit dan ما اتصل سنده بنكل العدل الضابط ضبطا كاملا عن مثله وخلا ممن الشذوذ و العلةhadits yang muttasil bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil dan dhobithkuat daya ingatan sempurna dari sesamanya, selamat dari kejanggalan syadz, dan cacat ilat.Imam As-Suyuti mendifinisikan hadits shahih dengan “hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perowi yang adil dan dhobit, tidak syadz dan tidak ber’ilat”.Selain itu, ada para perawi hadist shahih yang sangat terkenal, siapa saja perawi hadits shahih? Berikut merupakan nama-nama perawi hadits Hadits yang diterima oleh Shahih Bukhari, disusun oleh Bukhari 194-256 H.2. Shahih Muslim, disusun oleh Muslim 204-262 H.3. Sunan Abu Dawud, disusun oleh Abu Dawud 202-275 H.4. Sunan at-Turmudzi, disusun oleh At-Turmudzi 209-279 H.5. Sunan an-Nasa’i, disusun oleh an-Nasa’i 215-303 H.6. Sunan Ibnu Majah, disusun oleh Ibnu Majah 209-273.7. Musnad Ahmad, disusun oleh Imam Ahmad bin Muwatta Malik, disusun oleh Imam Sunan Darimi, Hadits yang diterima oleh Syi’ Syi’ah hanya mempercayai hadits yang diriwayatkan oleh keturunan Muhammad saw, melalui Fatimah az-Zahra, atau oleh pemeluk Islam awal yang memihak Ali bin Abi Thalib. Syi’ah tidak menggunakan hadits yang berasal atau diriwayatkan oleh mereka yang menurut kaum Syi’ah diklaim memusuhi Ali, seperti Aisyah, istri Muhammad saw, yang melawan Ali pada Perang beberapa sekte dalam Syi’ah, tetapi sebagian besar menggunakan* Ushul al-Kafi.* Al-Istibshar.* Al-Tahdzib.* Man La Yahduruhu al-Faqih.* Syi’ah juga menerima sebagian hadis hadis hadits via apakah hadits mutawatir sudah pasti shahih dan bisakah hadits hasan menjadi shahih? Jika ingin mengetahui jawabannya simak penjelasannya dibawah jawaban yang pertama tentu saja iya. Bahkan lebih shahih daripada hadits yang kita kenal dengan sebutan hadits shahih. Karena hadits mutawatir sudah tidak dimungkinkan rawinya untuk yang dihasilkan dari hadits mutawatir adalah ilmu yakin, atau sering disebut ilmu dharuriy. Ilmu dharuriy oleh Ibnu Hajar didefinisikan sebagai ilmu yang tidak bisa ditolak oleh semua orang [Ibnu Hajar al-Asqalani w. 852 H, Nuzhat an-Nadzar, hal. 39].Tetapi jangan keliru dengan menyangka bahwa hadits ahad sebagai kebalikan dari hadits mutawatir itu pasti tidak shahih. Sebab saat kita bicara shahih atau tidak sahih, kita bicara tentang kualitas perawi. Sedangkan kalau kita bicara tentang mutawatirk kita sedang bicara tentang jumlah perawi. Sedangkan istilah shahih itu semata bicara kualitas jawaban pertanyaan kedua adalah Hadits hasan lidzatihi bisa naik derajatnya menjadi hadits shahih apabilakekurang sempurnaan rawi tentang kedhabitannya itu dapat ditutup, misalnya hadits hasan lidzatihi tersebut mempunyai sanad lain yang lebih dhabit, naiklah hadits hasan lidzatihi ini, menjadi hadits shahih lighairihi. Contoh hadits dari Muhammad bin Amr dari Abi Salamah dari Abi Hurairoh bahwa Nabi bersabdaلو لا أن أشق علي أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة“Kalau bukan karena akan memberatkan umatku maka akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan hadits ini masuk pada kategori lighorihi. Menurut Ibnu Sholah memberi alasan karena pada Muhammad bin Amr bin al-Qomah termasuk orang yang lemah dalam hafalan, kekuatan, ingatan dan juga kecerdasanya, Akan tetapi hadits ini dikuatkan dengan jalur lain, yaitu oleh al A’raj bin Humuz dan sa’id al Maqbari maka bias dikategorikan shahih lighirihi. Bagaimana cara mengetahui hadits shahih? Inilah caranya.
Untukbisa dikatakan sebagai hadits shahih, maka sebuah hadits haruslah memenuhi kriteria berikut ini: 1. Adil Perawinya harus bersifat adil. Adil di sini artinya bukandalam memutuskan perkara, melainkan orang yang selalu memelihara ketaatan kepada Allah SWT dan menjauhi perbuatan maksiat.
Daftar Isi Doa Ketika Terjadi Gempa Doa saat Terkena Gempa Doa Berlindung dari Gempa Bumi Doa Mencegah Kehancuran saat Gempa Makassar - Gempa bumi merupakan salah satu bencana yang kerap terjadi di wilayah Indonesia. Lantas apa bacaan doa ketika ada gempa bumi yang dianjurkan?Memperbanyak zikir dan berdoa memohon perlindungan kepada Allah SWT, agar dijauhkan dari keburukan yang datang setelah gempa bumi mengguncang sangat dianjurkan bagi umat muslim. Berikut ini kumpulan doa ketika ada gempa bumi yang dapat diamalkan sebagaimana dirangkum detikSulsel dari berbagai selengkapnya di bawah ini. Doa Ketika Terjadi GempaMengutip buku Tadabbur Doa Sehari-Hari yang disusun oleh Jumal Ahmad, lafal doa yang dianjurkan saat pertistiwa gempa terjadi adalah sebagai berikutAbdullah bin Umar radhiyallahu anhuma meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam apabila bermusafir dan tiba waktu malam, maka Baginda akan berdoaيَا أَرْضِ رَبِّي وَرَبُّكَ اللَّهِ ، أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شَرِكَ، وَمِن شَرِّ مَا فِيْكَ، وَشَرِّ مَا خُلِقَ فِيْكَ، وَشَرِّ مَا يَدِبُّ عَلَيْكَArab latinYā arḍu rabbi wa rabbukallāh, a'ūḍubillāhi min šarrik wamin šarri mā fika, wamin šarri mā huliqa fika wamin šarri mā yadibbu 'alaikaArtinya"Wahai bumi, Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah. Aku berlindung kepada Allah daripada keburukanmu, daripada keburukan yang terkandung di dalammu, daripada keburukan yang diciptakan yang terkandung di dalammu, dan daripada keburukan yang melata atas dasarmu". HR Abu Dawd, dinilai Hasan oleh Ibn HajarDoa saat Terkena GempaMelansir detikHikmah, adapun doa yang bisa dipanjatkan bagi orang yang terkena gempa, hal ini dicontohkan Rasulullah SAW dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Dikutip dari buku Kumpulan Do'a dari Al-Quran dan As-Sunnah yang Shahih karya Yazid bin Abdul Qadir Jawas, berikut bacaan doanya,إنّاَ للهِ وإنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أجِرْنِي فِي مُصِيبَتي وأَخْلِفْ لِي خَيْراً مِنْهBacaan latinInnalillahi wa inna ilaihi raji'un, Allahumma ajirhum fii mushibatihim, wa akhlif lahum khoiran kami adalah milik Allah dan sesungguhnya akan kembali kepada-Nya. Ya Allah, berilah mereka pahala dalam musibah mereka dan gantilah dengan yang lebih baik."Doa Berlindung dari Gempa BumiMenukil buku Doa dan Zikir Sepanjang Tahun oleh H. Hamka Hamedan MA, berikut ini doa berlindung dari gempa bumiاللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أَغْتَالَ مِنْ تَحْتِيَArab latinAllaahumma innii a-'uudzu bi-'azhamatika an ughtaala min berlindung kepada-Mu dengan kebesaran-Mu agar aku tidak diserang/ditelan dari arah bawah bumi."Salah satu perawi hadis ini, Jubair bin Muth'im mengatakan bahwa doa ini adalah perlindungan agar tidak terjerumus ke bawah bumi, seperti saat gempa bumi maupun longsor. HR. Nasa'i no. lain yang dapat dipanjatkan ketika ada gempa bumi atau tsunami adalahاللهم إني أَعُوذُ بِكَ مِنَ القَرْدَي وَالْهَدْمِ وَالْفَرَقِ وَالْخَرِيْقِ وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ يَتَخَبَّطَنِيَ الشَّيْطَانُ عِنْدَ الْمَوْتِ وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ أَمُوْتَ فِي سَبِيْلِكَ مُدْبِرًا وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ أَمُوْتَ لَدِيقًاArab latinAllaahumma innii a-'uudzu bika minat taraddii wal hadmi wal gharaqi wal hariiqi wa a-ʻuudzu bika an yatakhabbthaniyas syaithaanu 'indal mauti wa a-'uudzu bika an amuuta fii sabiilika mudbiran wa a-'uudzu bika an amuuta Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari terjatuh dari tempat yang tinggi, dari tertimpa bangunan termasuk terkena benturan keras dan tertimbun tanah longsor/gempa, dari tenggelam, dan dari terbakar. Aku juga berlindung kepada-Mu dari campur tangan setan ketika akan meninggal. Aku juga berlindung kepada-Mu dari meninggal dalam keadaan lari dari medan perang. Aku juga berlindung kepada-Mu dari meninggal karena tersengat hewan beracun." HR. Nasa'i no. Mencegah Kehancuran saat GempaMengutip buku Doa-Doa Perlindungan Penolak Keburukan dan Bencana yang diterbitkan Pustaka Zahra, disebutkan bahwa dalam al Makarim diriwayatkan, jika Anda merasa takut akan kehancuran akibat gempa, maka bacalah ketika hendak tidur doa berikut ini..بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ . اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ آلِ مُحَمَّدٍ . إنَّ اللهَ يُمْسِكَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَنْ تَزُولاً . وَلَئِنْ زَالَتَا إِنْ أَمْسَكَهُمَا مِنْ أَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ . إِنَّهُ كَانَ حَلِيْمًا غَفُورًاArab latinBismillâhir-rahmânir-rahîm. Allahumma shalli 'ala Muhammadin wa ali Muhammadin Ya Allah, limpahkan salawat kepada Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad. Innal-lâha yumsikus-samâwâti wal-ardhi an tazûlan. Wa la'in zâlatan in amsakahumâ min ahadin min ba'dihi. Innahu kâna halîman nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap. Dan sungguh jika keduanya akan lenyap tidak ada seorang- pun yang dapat menahan kedua tangannya selain Allah. Sesungguhnya Dia Maha Penyantun, Maha Pengampun. Fathir [35] 41.Nah itulah kumpulan doa yang dapat diamalkan detikers ketika gempa bumi terjadi. Semoga bermanfaat! Simak Video "Ternate Diguncang Gempa M 5,9" [GambasVideo 20detik] alk/edr
Artinya perawi tersebut tidak menjalankan kefasikan, dosa-dosa, perbuatan dan perkataan yang hina. Perawi yang adil adalah perawi yang muslim, baligh (dapat memahami perkataan dan menjawab pertanyaan), berakal, terhindar dari sebab-sebab kefasikan dan rusaknya kehormatan (contoh-contoh kefasikan dan rusaknya kehormatan adalah seperti melakukan kemaksiatan dan bid'ah, termasuk diantaranya merokok, mencukur jenggot, dan bermain musik).3.
403 ERROR Request blocked. We can't connect to the server for this app or website at this time. There might be too much traffic or a configuration error. Try again later, or contact the app or website owner. If you provide content to customers through CloudFront, you can find steps to troubleshoot and help prevent this error by reviewing the CloudFront documentation. Generated by cloudfront CloudFront Request ID QhBCr8IT_j7cIxL5SdcZG6S_KlGgOaFyqG6Nf_smODr-IlQurZJaJA== Syaratsyarat Rawi a. Adil. Adil dalam konteks studi hadis berbeda dengan adil dalam konteks persaksian atau hukum. Menurut muhaddisin yang dimaksud dengan adil adalah istiqamatuddin dan al-muru'ah. Istiqmatuddin adalah melaksanakan kewajiban-kewajiban dan menjauhi perbuatan-perbuatan haram yang mengakibatkan pelakunya fasik. 1. Syarat-syarat Perawi dalam Tahammul Hadis Tidak dapat dipungkiri bias mendapatkan hadis atau menerimanya merupakan anugerah yang sangat besar. Disamping perlunya keikhlasan hati dan lurusnya niat untuk membersihkan diri dari tujuan-tujuan yang menyeleweng, yang merupakan adab atau tatakrama seorang thalib al-hadis, dalam menerima hadis harus memenuhi beberapa syarat yang telah ditetapkan oleh ulama ahli hadis atau dikenal dengan istilah ahliyatu altahammul sehingga hadis yang diterima tersebut sah untuk diriwayatkan. Berikut syarat-syarat bagi perawi dalam tahammul hadis 1 Penerima harus dlabit memiliki hafalan yang kuat atau memiliki dokumen yang valid. 2 Berakal sempurna serta sehat secara fisik dan mental Syarat berakal sehat sudah jelas disyaratkan dalambertahammul hadis karena untuk menerima hadis yang merupakan salah satu sumber hukum Islam sangat diperlukan. Oleh karena itu tidak sah riwayatnya seseorang yang menerima hadis tersebut ketika dalam keadaan tidak sehat akalnya. Selain sehat akal, dalam bertahammul juga harus dalam keadaan sehat fisiknya dan juga mentalnya agar orang tersebut mampu memahami dengan baik riwayat hadis yang diterimanya. 3 Tamyiz Syarat pertama perawi dalam tahammul al-hadis adalah tamyiz. Menurut Imam Ahmad, ukuran tamyiz adalah adanya kemampuan menghafal yang didengar dan mengingat yang dihafal. Ada juga yang mengatakan bahwa ukuran tamyiz adalah pemahaman anak pada pembicaraan dan kemampuan menjawab pertanyaan dengan baik dan benar. Seorang yang belum baligh boleh menerima hadis asalkan ia sudah tamyiz. Hal ini didasarkan pada keadaan para sahabat, tabi’in, dan ahli ilmu setelahnya yang menerima hadis walaupun mereka belum baligh seperti Hasan, Husain, Abdullah ibn Zubair, Ibnu Abbas, dan lain-lain. Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan seseorang boleh bertahammul hadis dengan batasan usia. Qodli Iyad menetapkan batas usia boleh bertahammul adalah usia lima tahun, karena pada usia ini seorang anak bias menghafal dan mengingat-ingat sesuatu, termasuk hadis nabi. Abu Abdullah az-Zubairi mengatakan bahwa seorang anak boleh bertahammul jika telah berusia sepuluh tahun, sebab pada usia ini akal mereka telah dianggap sempurna. Sedangkan Yahya ibn Ma’in menetapkan usia lima belas tahun. 2. Syarat Perawi dalam Ada’ al-Hadis Syarat-syarat orang yang diterima dalam meriwayatkan hadis atau dikenal dengan istilah ahliyatul ada’ menurut ulama ahlul hadis adalah 1 Islam Pada waktu periwayatan suatu hadis seorang perawi harus muslim. Menurut ijma’, periwayatan hadis oleh orang kafir dianggap tidak sah. Karena terhadap riwayat orang muslim yang fasik saja dimauqufkan, apalagi hadis yang diriwayatkan oleh orang kafir. Walaupun dalam tahammul hadis orang kafir diperbolehkan, tapi dalam meriwayatkan hadisia harus sudah masuk Islam. 2 Baligh Yang dimaksud baligh adalah perawi cukup usia ketika ia meriwayatkan hadis. Baik baligh karena sudahberusia lima belas tahun atau baligh karena sudah keluar mani. Batasan baligh ini bias diketahui dalam kitab-kitab fiqih. 3 Adalah adil Adl merupakan suatu sifat yang melekat dalam jiwa seorang perawi, yang mendorong rawi untuk bertaqwa dan memelihara harga diri muru’ah sehingga menjauhi segala dosa, baik dosa besar maupun dosa kecil. Sifat adalahnya seorang rawi berarti sifat adlnya di dalam riwayat. Dalam ilmu hadis sifat adalah ini berarti orang Islam yang sudah mukallaf yang terhindar dari perbuatan-perbuatan yang menyebabkan kefasikan dan jatuhnya harga syarat yang ketiga ini sebenarnya sudah mencakup dua syarat sebelumnya yaitu Islam dan baligh. Oleh karena itu sifat adalah ini mengecualikan orang kafir, fasiq, orang gila, dan orang yang tak dikenal 4 Dlabit Dlabit ialah ingatan. seseorang yang meriwayatkan hadis harus mengingat hadis yang ia sampaikan tersebut. Saat ia mendengar hadis dan memahami apa yang didengarnya, ia harus hafal sejak ia menerima hadis itu hingga ia meriwayatkannya. Dabit oleh ulama ahli hadis dibagi menjadi dua yaitu a Dlabtu al-Shadri, yaitu dengan menetapkan atau menghafal apa yang ia dengar didalam dadanya, sekiranya ia mampu untuk menyampaikan hafalan tersebut kapanpun ia kehendaki. b Dlabtu al-Kitab, yaitu memelihara, mempunyai sebuah kitab catatan hadis yang ia dengar, kitab tersebut dijaga dan ditasheh sampai ia meriwayatkan hadis sesuai dengan tulisan yang terdapat dalam kitab tersebut. Sedangkan untuk hadisnya sendiri itu haruslah Tsiqoh, maksudnya adalah hadis yang diriwayatkan tidak berlawanan dengan hadis yang lebih kuat atau dengan Qur’an. Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang syarat-syarat perawi dalam tahammul wal ada’ Hadis. Sumber Modul 3 Konsep Dasar Ulumul Hadis PPG dalam Jabatan Tahun 2019 Kementerian Agama Republik Indonesia JAKARTA 2019. Kunjungilah selalu semoga bermanfaat. Aamiin. .
  • lwla3er62a.pages.dev/98
  • lwla3er62a.pages.dev/400
  • lwla3er62a.pages.dev/222
  • lwla3er62a.pages.dev/121
  • lwla3er62a.pages.dev/75
  • lwla3er62a.pages.dev/470
  • lwla3er62a.pages.dev/310
  • lwla3er62a.pages.dev/259
  • berikut ini yang tidak termasuk syarat perawi hadits adalah